Sabtu, 22 Desember 2018

Bukan Review Milly Mamet


Wow, draft yang sudah hampir seminggu tak kulanjutkan karena ya ku malas. Bukan cuma malas sih sebenarnya tapi sekarang ga jago nulis panjang-panjang. Hiks. Seringnya nulis status wasap doang sih satu-dua kalimat. Hhhhhh.

Karena habis nonton film Milly-Mamet yang sangat relate sama topik tulisan ini trus ditambah lagi ini adalah Hari Ibu Nasional jadilah kepikiran sama tulisan ini. Oh iya, tambah ke-trigger pengen nulis lagi karena liat postingannya Tasya Kamila ttg kehamilan dia dan pertanyaan “Tasya kan sekarang hamil, merasa pendidikannya sia-sia gak sih?”. Wow, sunggu pertanyaan yang sangat dangkal pengen ku-sleding kepala sang penanya. Hubungannya kehamilan sama pendidikan yang sia-sia apa malih di kehamilannya Tasya ini? Sungguh ku heran.

Perdebatan tentang IRT VS Ibu Bekerja ini sepertinya topik yang akan terus ada sampai kiamat deh. Pokoknya tunggu ke-trigger aja pasti akan dibahas lagi dan lagi.

Topik ini sempat ramai di twitter sekitar seminggu lalu karena posting-an gambar wanita muslim bertoga dengan tulisan “Nanti Setelah Menikah, Kamu Maukan Jadi Ibu Rumah Tangga – Ikhlas gelar sarjananya nggak kepake? Ridho kalau kamu dirumah jaga anak-anak, dan menjadi sebaik-baiknya madrasah bagi mereka?”. Banyak yang ga setuju ternyata dan memberi komentar yang cukup keras pada postingan tersebut. Padahal ya kalau ga setuju ya tinggal jawab aja ya, ga mauuuu, hahahahah.

Dan ternyata IRT VS Ibu Bekerja ini bukan hanya di Indonesia loh yaaa. Di luar sana juga ada orang-orang yang memperdebatkan masalah ini. Dan entah mengapa, ku lebih terganggu liat flow chart ini dibanding postingan "Setelah menikah mau kan jadi ibu rumah tangga?".



Sumber gambar: Boredpanda.com

Jadi, menurut saya yang sebenarnya ganggu itu adalah orang-orang yang nge-judge ibu-ibu dengan pilihan hidup mereka masing-masing, menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja. 

Oh iya, saya juga mau ngutip kata-katanya mb Tunggal Pawestri "Stigma-nya yang harus dibongkar terus. IRT dianggap tak berdaya tapi mulia. Lalu working mom dianggap gak bisa urus anak dan gak bisa jadi 'madrasah' bagi anak. Kedua stigma ini sama-sama kudu dipreteli."

Yup, betul sekali. Ibu bekerja sering kali dianggap ga bertanggung jawab karena lebih milih pekerjaan dan karir dibanding urus anak sendiri, sedangkan ibu rumah tangga sering dinilai lemah, cuma bergantung pada suami, dan menyia-nyiakan gelar pendidikan. Ayo, adakah yang masih ber-stigma seperti ini terhadap ibu-ibu di luar sana?

Intinya buat ibu-ibu masa kini semangat ya! Jangan pusingi komentar-komentar julid di luar sana dan jangan lah pula julid ke sesama ibu-ibu yang memilih "jalan" yang berbeda dengan kalian. Jadi ibu itu sudah berat kan ya? Jadi tak perlu ditambahkan dengan komentar atau sindiran tentang menjadi IRT atau Ibu Bekerja. Who are we to judge?

Btw, mumpung tadi sempat nyinggung Milly Mamet, (spoiler alert) saya sebenarnya agak kurang setuju sih sama Mamet waktu dia marah sama Milly karena telat pulang kantor (di mana kebetulan bayinya lagi rewel jadi bapaknya bingung) dan bilang "Kamu harusnya diam aja di sini" (cmiiw yah, agak lupa dialognya). Padahal kan sebenarnya Mamet sudah ngizinin untuk Milly kerja lagi. Sudah gitu aja.




Rabu, 19 September 2018

Menghargai Titel


Beberapa minggu yang lalu teman kerja dari bagian lain minta nama lengkap, biasalah buat ditaruh di undangan nikahan. Ku tulislah nama lengkap pemberian Ayah Ibuku, “titelnya mana?” tanya temanku. “Iya, masa sudah capek-capek sekolah titel-nya ga dicantumkan?” imbuh temanku yang lain.

Gelar akademik atau titel, yang ternyata dari bahasa Belanda ku baru tau, adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik bidang studi tertentu dari suatu perguruan tinggi (sumber: wikipedia).

Lanjut tentang undangan nikahan tadi, banyak yang berpendapat bahwa penulisan gelar itu sangat perlu untuk menghargai yang kita undang. Menghargai titel mereka yang sudah susah-susah kuliah untuk mendapatkan suatu titel.  Bahkan di undangan-undangan ada tulisan “Mohon maaf jika ada kesalahan pada penulisan nama dan gelar”.

Pertanyaanku, benarkah dengan mencantumkan titel pada nama di setiap kesempatan adalah suatu bentuk penghargaan terhadap titel tersebut? Tentu ini subjektif sekali ya. Saya tidak ada masalah dengan orang-orang yang berpendapat kalau menulis titel di undangan pernikahan itu sangat penting. Namun bagi saya pribadi, saya merasa hal itu tidak perlu. Mencantumkan titel pada nama menurut saya sih hanya diperlukan saat kita bersinggungan dengan dunia akademis atau dunia kerja. Malah kayaknya orang-orang yang kerja di bidang kreatif sudah jarang sekali ya mencantumkan titel mereka.

Tentang menghargai titel, menurut saya ini adalah beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk menghargai “susah-susah kuliah” kita, selain sekadar mencantumkan titel di undangan.

1. Bekerja dengan baik dan benar.
Apalagi kalau kita memang kerjanya sesuai dengan jurusan masing-masing. Bekerja dengan baik dan benar ini adalah cara menghargai titel kita dengan sebenar-benarnya. Secara tidak langsung juga menghargai almamater kita. Kan kasian ya kalau kerja kita ga bagus trus kampus kita jadi dibawa-bawa sama atasan atau rekan kerja atas kesalahan kita.

2. Rajin meng-update ilmu pengetahuan. 
Khususnya yang berkaitan dengan gelar akademis kita. Sarjana yang memilih menjadi Ibu rumah tangga sekalipun menurut saya juga harus update deh. Ga usah yang ribet-ribet sampai harus langganan jurnal gizi nasional. Tau macam-macam diet yang lagi tren di masyarakat, super-food yang sedang tren, atau artis siapa lagi diet apa, hahahahh. Ini sesuai bidang masing-masing saja sih. Bagi yang bekerja sesuai dengan jurusan masing-masing saat kuliah, hal ini juga sangat berkaitan dengan poin pertama. Rajin baca, sesekali ikut seminar atau pelatihan, atau sekedar berbagi ilmu di forum-forum on line.

3. Tidak menyebarkan hoax.
Ini penting banget nih. Apalagi kalau informasi hoax yang kita dapat itu masih berhubungan dengan bidang keilmuan kita. Saya baru-baru ini nyebarin hoax tentang formasi CPNS di POLRI, huhuhuu, aku merasa gagal sebagai duta anti hoax RT RW. Untungnya cepat tau dan segera meralat informasi ke teman yang sudah terpapar, hahaha (((terpapar))).
Kalian ada ga sih WA grup yang isinya ya orang-orang bertitel tapi ga jarang nyebarin hoax. Huft. Mau diluruskan kok ya agak ga enak ya apalagi yang share itu senior kita. Berhenti di kamu aja ya guys hoax-nya, jangan diteruskan.

Btw, tulisan ini saya buat bukan untuk menyinggung orang-orang yang sangat mementingkan titel di setiap kesempatan. Serius deh, itu sangat tidak apa-apa, terserah, dan bebas. Tulisan ini tuh sengaja saya tulis juga untuk mengingatkan diri sendiri. Supaya kerja ga asal-asalan, rajin-rajin baca artikel ilmiah terbaru, dan rajin mengecek setiap informasi yang diterima supaya tidak menjadi bagian dari penyebar hoax. Ya walaupun yang tidak kuliah atau masih di bangku sekolah juga harus ambil bagian #hantamhoax.

Untuk penutup, jadi ingat celetukan seorang teman waktu itu kalau liat undangan nikah dengan nama mempelai lengkap dengan titelnya “Itu undangan nikahan pakai titel, emang mau presentasi paper pas resepsi?”. Hahahah. Dasar temanku jomblo nyinyir, sirik aja :p

Jumat, 16 Februari 2018

Nonton Sendiri Itu Tidak Aneh

Apa anehnya nonton sendirian? Tidak ada.
Ya, tidak ada yang aneh dengan orang-orang yang hanya membeli satu tiket nonton di bioskop untuk dirinya sendiri. Soalnya sering sekali teman-teman saya ngatain saya aneh karena saya sering ke bioskop untuk nonton sendirian. Plis lah, tidak ada yang aneh dengan saya. Apa lo, apa lo.
Sebelum ngatain saya “Dasar Jomblo Sok Mandiri”, sini kuberitahu kalian beberapa keuntungan dari nonton sendirian:


Tidak akan terlambat masuk ke bioskop akibat nungguin teman.
      Saya tidak suka telat masuk ke dalam studio bioskop. Selain merugikan diri sendiri akibat tidak menonton beberapa menit adegan pembuka, telat masuk juga merugikan orang lain yang nonton. Kan males ya lagi asik nonton trus segerombolan orang tiba-tiba lewat depan kita, aih resek. Merangkak woi, merangkaaakkk! Nah, kalau nonton rame-rame biasanya gini nih kasusnya. Ku tak suka tunggu-tungguan. Saya mending masuk duluan deh trus nanti terpaksa keluar lagi jemput teman dari pada nungguin untuk masuk bareng. Apalagi kalau ini film yang sangat ingin ku tonton.


Kemungkinan kecil untuk kehabisan tiket.
      Saya ingat banget dulu mau nonton Inception tapi selalu kehabisan tiket. Sebenarnya ada sih tapi paling tinggal dua atau tiga. Kalau pergi ramean sama your geng, pasti agak kurang ajar ya kalau bilang “Eh, saya aja ya yg nonton. Kalian tak usah dulu”. Muahahahh. Jadinya saya nonton sendirianlaahhh... Dapat tiket walaupun depan banget Ya Allah, leherku sakit nonton inception mana berat dan lama pulak filmnya.


Bebas pilih film yang mau kau nonton, seaneh apapun film itu.
      Film terakhir yang kunonton sendirian adalah The Greatest Showman, beruntung masih sempat nonton film bagus-epic-suka-sekalilah-sama-soundtracks itu. Besoknya, filmya sudah turun layar. Ya nasib tinggal di kota kecil dengan bioskop cuma satu. Coba ku tunggu sampai ada teman yang mau nonton film itu juga, filmnya sudah keburu turun layar. Nonton Marlina: Pembunuh dalam empat babak juga sendiri karena “Idih, film apa itu?” adalah reaksi temanku saat kuajak nonton. Hahahah. Padahal filmya apik sekali T.T


Menghayati film sepenuh hati.
      Iya, walaupun saya suka nonton film sendiri, saya juga tidak jarang nonton bareng sama teman-teman. Kalau nonton dengan orang lain, biasanya saya juga mengomentari film bareng teman. Apalagi waktu nonton Dilan kemaren, eettt dahh! Berisik banget kami ngomentarin gombalannya Dilan, hahahah. Saya tidak terlalu merasa bersalah agak berisik di bioskop soalnya nontonnya juga bareng penonton-penonton “berisik” lainnya.
Kalau kamu nonton sendiri, tak bakalan adalah itu ngomentarin “Aktingnya Tantowi Yahya kayak lagi mau bawain kuis yah!” pas nonton Eiffel I’m In love 2 kemarin.
Coba kamu nonton sendiri, mungkin kamu bakalan nangis pas Tita akhirnya dilamar sama Adit, soalnya kamu menghayati kesedihan tita yang udah LDR dengan cowok posesif selama 12 tahun tapi ga dilamar-lamar. Mungkin loh.

      Bebas kalau mau nangis.
Ya itu, kalau nonton sendiri kamu ga bakalan malu kalau nangis pas adegan Tita dilamar Adit atau adegan Milea dan Dilan memproklamirkan cinta mereka. Iya, bikin kamu pengen nangis karena Kamu Jomblo. Kamu kasihan sekali. Sudahlah tak usah sedih! Etapi saya kalau nonton rame-rame juga ga bakalan malu kok kalau mau nangis. Nangis mah nangis aja,

Itulah manteman beberapa keuntungan kenapa saya tuh suka nonton sendiri. Nonton sendiri adalah pilihan. Jangan takut bakalan ditanyain “Kok nontonnya sendirian aja mb/mas?” sama petugas tiket bioskop. Mereka ga sekepo itu kok, paling mereka hanya ngomong dalam hati. Hahahahh. Atau untuk pasangan yang pengen nonton tapi ga ada yang jagain anak. Bisa kali gantian nonton dan jaga anaknya, sekalian me time begituh :p


Jangan sampe kelewatan nonton film yang ingin sekali kamu tonton hanya karena alasan “Ga ada yang temenin nonton”. Ah elah... Ingatlah, nonton itu bukan main badminton yang butuh dua orang baru bisa main! 

Selasa, 13 Februari 2018

Be Grateful

Siapa dulu yang waktu masih kecil sering dibilangin “Kamu ga liat itu anak2 di Afrika banyak yg kelaparan tapi kamu malah ga habis makannya”. Alhamdulillah saya kayaknya nda, nasi ku selalu habis. Makan nasi lauk gula pasir aja habis kok. Banyak makan sejak dulu, hahahah.

Kalau sedang mendapat keberuntungan atau hal-hal yang baik bersyukur tuh seperti otomatis. Tapi kalau lagi biasa-biasa aja atau malah dapat musibah, bersyukur juga ga?

Bersyukur sambil melihat ke bawah. Seberapa sering sih kita kalau sedang di titik terendah kehidupan *halah*, kita sering diingatkan atau mengingatkan diri sendiri kalau masih banyak manusia yang hidupnya jauh lebih susah atau lebih menderita dari kita? Kalau lagi mikir “Yaelah, hidup kok gini-gini aja ya?”, kemudian ada yg berbisik “Hey, kamu harus bersyukur. Banyak wanita di luar sana yang pengen kerja tapi ga dibolehin sama suaminya”.  Atau kebalikannya, ibu-ibu yang sudah butek ngurusin kerjaan domestik kayak Mpok alfamart mungkin ada yang bisikin “Hey, kamu harus bersyukur, banyak jomblo di luaran sana yang pengen nikah tapi, ah sudahlah” *Iyaaa, saya nda tersinggung...

Makanya itulah saya kadang mikir, kalau saya jadi anak Afrika atau Papua yang bisa terancam mati karena kelaparan kapan saja, saya bersyukurnya gimana ya?

Padahal Allah bilang loh “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku akan sangat berat”

Bisakah kita bersyukur tanpa melihat ke bawah?  Bersyukur sambil tetap memandang lurus. Bersyukur tanpa embel-embel. Be grateful with no terms and conditions.
Bersyukur yang tulus kepada Sang Pencipta. 

Belajar ah sekarang, sedikit-sedikit. Pelan-pelan.