Rabu, 27 Juni 2012

#Resep Pacco


Kuliner ini adalah salah satu sajian khas daerah ortu. Disajikan dari ikan teri segar (juku mairo kalau kata orang Makassar) dan diolah dengan sangat sederhana , mungkin hampir mirip lawar di Bali. Sebenarnya juga hampir mirip dengan lawa' ikan yang juga berasal dari daerah yang sama namun bedanya, pacco tidak menggunakan kelapa goreng dalam pengolahannya. Maaf ya, resep berikut tidak akan ada takarannya, muahahahh. Semua terserah selera pembuat. So, ini resepnya:

Bahan:
  1. Ikan teri segar
  2. Jeruk nipis
  3. Jeruk sambel
  4. Lombok kecil (sesuai selera)
  5. Kacang tanah goreng
  6. Garam
Cara Membuat:
  1. Bersihkan ikan teri dari kepala dan tulangnya. Lalu cuci kembali dengan air matang.
  2. Tambahkan perasan air jeruk nipis ke ikan yang sudah bersih, sisihkan.
  3. Ulek lombok, kacang tanah, dan garam. Bisa ditambahkan penyedap rasa jika suka.
  4. Peras ikan yang sudah disisihkan tadi sampai air jeruk nipisnya hilang.
  5. Tambahkan bumbu yang sudah diulek ke dalam ikan dan tambahkan jeruk sambel. Aduk sampai rata. 
Tips:
- Ikan teri yang digunakan harus benar-benar segar, baru naik dari lautlah kalau bisa. Jika ikannya kurang segar, ikan akan amis dan mudah hancur.
- Perasan jeruk nipis yang digunakan agak banyak. Selain untuk menghilangkan bau amis, air jeruk nipis juga berfungsi untuk membunuh bakteri yang ada di ikan.

Kalau di daerah asalnya, hidangan ini biasanya disantap dengan dange, yaitu sagu yang sudah dibentuk menyerupai papan tipis lalu dibakar . Namun, dimakan dengan nasi hangat juga ga kalah nikmat. Atau dimakan begitu saja juga lezat, ga kalah sama sashimi (padahal belum pernah coba sashimi =D). Selamat mencoba.

Sabtu, 23 Juni 2012

Cerita Tiga Gadis Belia

*situasi: di dapur. Sepupu lagi sibuk dengan ikan dan saya membantu dengan doa"

Sepupu : "Tau nda mereka ( 3 org karyawan yg kerja di warungnya) umurnya kira-kira berapa?"
Saya : "Hmm.. 18-an tahun?"
Sepupu : "Hahah... Salah, ada yang seharusnya masih kelas 1 smp!"
Saya : "Ebuset..."
Sepupu : "Terus yang dua orang itu sudah punya anak"
Saya : *menganga*

Dan percakapan pun terus berlanjut.

Jadi, kakak sepupu saya memperkerjakan tiga org (yg saya kira masih) gadis untuk membantunya mengurus warung makannya. Iya, awalnya saya memperkirakan mereka berumur 18-20 tahun dan ternyata saya salah. Jika mereka masih sekolah, kata sepupu saya, mereka mungkin kelas 2 SMA (A), 3 SMP (B), dan 1 SMP (C). Belum habis kaget saya, ternyata dua orang dari mereka, si A dan B, sudah mempunyai seorang anak masing-masing berusia 9 dan 6 bulan dan entah suami mereka sekarang dimana. Si A yang anaknya diare karena ternyata diberi susu kental manis, " karena satu kaleng sudah jadi banyak botol susu" kata dia. Ada lagi cerita yang bikin tambah miris (tapi juga jadi ingin ngakak). Si B yang berkenalan dengan suaminya melalui facebook, setelah bertemu kemudian keesokan harinya langsung melaksanakan ijab kabul. *pingsan*

Beda lagi dengan si C. Sebenarnya orang tuanya cukup mampu untuk membiayai sekolahnya tidak seperti yang dialami si A dan B. Namun, karena si C tidak mau lagi dikatakan anak kecil dan anak sekolah maka dia memutuskan untuk berhenti sekolah. Dan katanya sudah ada yang mau lamar buat diajak nikah. *wajah poker*

Miris-miris menggelikan ya? Saya sampai tidak habis pikir kenapa bisa ada kejadian seperti itu, iya tapi itu nyata dan banyak sekali terjadi di sekitar kita. Salah anak? Salah orang tua? Salah pemerintah? Ah, paling gampang dan enak memang kalau menyalahkan. Ada gadis belia yang mungkin belum tahu apa-apa tentang bayi, abg yang merasa dewasa sebelum waktunya, bayi yang seharusnya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, orang tua gadis yang harus menjaga cucu selama anak mereka bekerja. Saya cuma bisa melongo dan menuliskan cerita mereka di blog ini.

Kamis, 21 Juni 2012

Foto Hari Ini : Texting Like A (stupid) Boss!


Lokasi : Jl. Dr. Sam Ratulangi, Makassar
Waktu : Pkl. 14.30 WITA
Nomor plat motornya1136-13 (Ya kale ada temannya si Polisi yg baca, biar ngasih tau tuh temannya)

Sewaktu perjalanan pulang dari arah Karebosi, saya melihat kejadian di atas. Seorang polisi yang mengendarai motornyanya sambil ber-sms ria. Cukup lama saya rasa polisi itu dengan kondisi seperti itu. Bayangkan saja, saat awal saya melihatnya (kemudian mengumpatinya dengan cukup kencang!) ada jeda waktu beberapa saat untuk saya mengeluarkan kamera dari tas kemudian mengambil foto di atas.

Ini bukan kali pertama saya melihat seorang polisi berbuat demikian. Sewaktu di Jogja, saya juga pernah sekali melihat kelakuan seperti itu *double sigh!. Orang-orang yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk masyarakat malah jadi contoh untuk iklan layanan masyarakat perihal -JANGAN DITIRU-!

Jumat, 15 Juni 2012

Don't Judge The Book by Its Movie

Tadi sore saya ke Benteng Rotterdam, sedang ada event Makassar International Writers Festival 2012 di sana. Iseng-iseng saja saya ke sana, setelah kemarin malam melihat jadwal acara di sini. Diskusi panel dengan judul "Don't Judge The Book by Its Movie" cukup menarik perhatian sehingga akhirnya saya memutuskan untuk ikut.



Sewaktu saya tiba, moderator, Riri Riza, sedang mengenalkan narasumber satu per satu. Ada Akmal N. Basral, Ahmad Fuadi, Ahmad Tohari, dan Ichwan Persada. Dari lima orang yang ada di panggung, hanya tiga nama yang sudah tidak asing bagi saya. Riri Riza, siapa yang tidak kenal sineas yang satu ini :D. Kemudian Ahmad Tohari, yang saya kenal melalu novel "Ronggeng Dukuh Paruk"-nya dan Ahmad Fuadi yang juga seorang novelis yang juga saya baca karyanya, Negeri Lima Menara (dan entah dimana novelku yang satu :( ). Dua orang lainnya yang belakangan baru saya tahu setelah mengikuti diskusi tadi. Diskusi tadi membahas tentang novel yang difilmkan dan film yang dinovelkan.

Untuk film yang dinovelkan mungkin tidak akan saya bahas karena jujur saya belum pernah baca novel yang bersumber dari film. Padahal menurut Akmal, beda loh... Hehehh.

Saya adalah salah satu dari mungkin sekian banyak orang yang biasanya protes (kadang dalam hati, namun lebih sering sambil ngomel) kalau nonton film yang bersumber dari novel. Seingat saya, film bersumber novel yang pertama saya protesi adalah Harry Potter, hahahh. Iya, ketika sangat banyak bagian di dalam novel yang tidak saya temukan di film saya biasanya protes sewaktu keluar dari bioskop. Tapi setelah dipikir, memang tidak mungkin menuangkan keseluruhan novel (apalagi jika novelnya tebal) ke dalam film yang hanya berdurasi kurang lebih dua jam.

Ronggeng Dukuh Paruk, yang novelnya baru selesai saya baca di awal tahun 2010 kemudian difilmkan dengan judul Sang Penari. Di poster atau iklan film ini memang ada tertulis "terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk" dan benar saja banyak hal yang berbeda antara novel dan filmnya. Saya ingat banget pas nonton film ini di bioskop, cewek di samping saya tidah henti-hentinya protes karena bagian di film tidak sama dengan yang dia baca di novel. Sangat mengganggu tentu saja sampai saya pindah tempat duduk supaya ocehannya tidak terdengar (untung banyak yg kosong).

Dan setelah mendengar sendiri dari pak Ahmad Tohari tadi, saya jadi ber "Oh... Pantas..." sendiri dalam hati. Ternyata beliau memang memberikan kebebasan kepada "penggarap" film Sang Penari untuk menafsirkan sendiri novel Ronggeng Dukuh Paruk. Beliau beranggapan bahwa tidak mungkin film yang akan dibuat sama persis dengan novel yang telah ia buat. Dan hasilnya, jadilah film Sang Penari yang saya dan (mungkin) Anda sudah tonton. Dan ternyata pak Ahmad Tohari pun cukup puas dengan film itu, roh film-nya dapat kata beliau.

Dari diskusi panel tadi disebutkan bahwa novel dan film adalah dua karya yang berbeda dan harus kita nilai berbeda pula. Kalau menurut saya sih mungkin maksudnya kita harus menilai sebuah film dengan memosisikan diri sebagai orang belum membaca novelnya (mudah-mudahan ga salah). Iya, saya rasa itu juga ada benarnya. Seperti saat menonton "Hunger Games" kemarin, saya menilai film itu bagus-bagus saja. Namun bagi teman yang terlebih dahulu membaca novelnya merasa film itu tidak sesuai dengan novelnya walaupun juga tidak jelek-jelek amat menurut dia :D. Saya memang cenderung tertarik untuk menonton film yang sudah terlebih dahulu saya baca novelnya. Ingin membandingkan bagaimana visualisasi di otak saya saat membaca novel dengan visualisasi film dan kebanyakan biasanya beda banget :)).

Mungkin mulai sekarang jika saya akan menonton sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel yang pernah saya baca, saya akan coba memosisikan diri sebagai orang yang belum pernah membaca novel tersebut sebelumnya. Mungkin agak susah ya, tapi itu bisa jadi itu salah satu cara untuk menilai filmnya dengan adil dan menikmati film dengan cara yang berbeda. Cape juga kan terus-terus membandingkan (walaupun cuma dalam hati) antara novel dan film sepanjang film berlangsung? ;)