Sabtu, 22 Desember 2012

22 Desember

22 Desember 2012

Sudah tiga hari ini mereka bolak-balik ke sini. Yang perempuan, belum pernah sekalipun ku lihat wajahnya tersenyum. Bahkan wajahnya lebih sering terlihat sendu bergantian dengan cemas. Yang laki-laki, entahlah, susah membaca ekspresinya walaupun sekali-sekali terlihat cemas. Belum sampai dua tahun mereka tinggal di kota ini, iya, mereka berdua anak rantau. Menuntut ilmu sampai jadi sarjana, mungkin itu yang ada di benak masing-masing saat memutuskan ke kota ini. 

Saya tidak pernah menghitung sudah berapa pasang anak muda seperti mereka yang datang ke sini. Ada juga perempuan yang datang cuma seorang diri, pasangannya tidak ikut. Saya ingat beberapa bulan yang lalu seorang perempuan muda datang ke sini seorang diri. Saat saya tanya mana pasangannya, dia cuma bilang kalau pasangannya sibuk " Lagi ada ujian di kampus Bu!" begitu katanya . Dia juga cuma datang sekali, setelah itu tidak pernah lagi kembali. Atau sepasang anak muda yang datang dua minggu lalu. Yang perempuan tidak henti-hentinya menangis tersedu-sedu sementara pasangannya cuma bisa menenangkannya tapi tentu saja tidak berhasil.

Sudah 3 tahun saya di sini, melihat banyak pasangan datang dan pergi. Banyak yang datang dengan wajah yang sedih namun tidak sedikit yang datang dengan wajah penuh harap. Berharap bisa menemukan malaikat yang bisa mereka bawa pulang dan menghujani mereka dengan cinta dan kasih. Hal yang tidak bisa dia lakukan pada anak kandung mereka sendiri. Tidak jarang saya menangis haru ketika seorang anak bisa menemukan keluarga baru mereka. "Semoga kau selalu dilimpahi kasih sayang nak", itu salah satu doaku dalam hati ketika melepas seorang anak kepada keluarga barunya. 

**
17 Maret 2012

"Pokoknya aku nda bisa kalau harus gugurin anak ini. Nyawaku juga taruhannya! Bukan cuma anak ini yang hilang, aku juga bisa mati!" ucap perempuan itu dengan suara yang hampir terdengar seperti teriakan.
"Sssttt... ga usah teriak-teriak ngomongnya. Atau sekalian aja kamu umumin sama semua orang di kos ini" ucap sang laki-laki tidak kalah emosi namun dengan suara yang lebih pelan.
"Trus kita harus bagaimana sekarang? Mamaku bisa kambuh penyakit jantungnya kalau tahu anaknya hamil begini. Papaku pasti langsung nyeret aku pulang, masih untung kalau dia tidak bunuh aku nanti!" perempuan itu mulai terisak kembali.
"Pasti ada tempat yang bisa gugurin dengan aman. Aku juga ga bisa kasih tau orang tuaku!" sahut sang pria.
"Gila kamu!" hardik sang perempuan.
Ia kemudian keluar kamar sambil menangis. Sambil berlari meninggalkan laki-laki itu yang tidak kalah kalut dengan dirinya namun tanpa air mata.

**

26 November 2012

"Nina bobo oh nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk" seorang ibu sedang bersenandung untuk menidurkan anaknya. Sambil menyusui, ia berkali-kali mengulang lagu itu dengan lirih.
Ia terus-menerus memandang anaknya yang sudah mulai memejamkan matanya kembali. Waktu di kamar kosnya menunjukkan pukul 3.15 pagi. Kurang dari lima jam lagi ia harus mengikuti ujian pertama untuk semester ini. Dia tidak berharap banyak akan bisa menjawab pertanyaan ujian dengan baik. Bisa lulus dengan nilai pas-pasan saja mungkin dia sudah lega. Lega? Entahlah apa itu bisa membuatnya lega. Sepertinya, apapun yang dia lakukan tidak akan pernah membuatnya lega sekarang.

Awalnya Ia berencana akan langsung menyerahkan bayinya untuk diadopsi ketika lahir. Namun, saat pertama kali melihat bayinya matanya langsung berkaca-kaca. Ia bahkan meminta bidan yang membantunya bersalin untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) pada anaknya. Iya, dia tahu teori tentang IMD dari materi kuliah di kampusnya dan beberapa kali membaca di internet. Saat itu dia tidak memikirkan apa-apa selain ia sangat menyayangi anaknya. Ia berjanji akan membesarkan anaknya walaupun harus seorang diri.

Pukul 07.30, ia dan bayinya terlihat sudah rapi. Setelah memastikan semuanya ia kemudian keluar kamar lalu mengetuk pintu kamar kos temannya. "Iya, sebentar!" sahut temannya.
"Aku jadi nitip anakku ya. Ujianku nanti cuma sampai jam sepuluh kok. Jadi paling lambat setengah sebelas aku sudah nyampai kos lagi. Semua keperluannya sudah kusiapin kayak biasa" katanya sambil menyerahkan bayinya kepada temannya.
"Oke, sukses ya ujiannya" jawab temannya.
Setelah memberi kecupan di kedua pipi bayinya, ia kemudian berlekas pergi.

**
20 Desember 2012

"Mas sama mba baca dulu aja ini supaya tau surat-surat apa saja yang harus dibawa nanti. Kami ga bisa terima kalau ada salah satu persyaratan itu yang kurang" jelasku kepada pasangan muda yang ada di hadapanku. Bayinya tidak dibawa, katanya dititipkan ke teman kos si perempuan.
Sudah satu jam lebih saya mewawancarai mereka. Wawancara yang susunan pertanyaan sudah saya hafal di luar kepala. Sebagian besar pertanyaan dijawab dengan ragu-ragu oleh mereka. Dan sebagian besar dijawab oleh si perempuan. Laki-lakinya cuma banyak diam atau hanya mengiyakan pernyataan si perempuan.

"Mb yakin anaknya mau diserahkan? Padahal sudah dua bulan loh mb rawat dia. Ga kasihan sama anaknya?" tanyaku pada si perempuan. Ia kembali terdiam, terlihat kembali genangan air di pelupuk matanya. Yang laki-laki pun kembali menunduk, kembali menghindari kontak mata dengan saya.
"Coba mb pikir lagi baik-baik. Saya sarankan kalian berdua kasih tau dulu orang tua kalian. Memang ada harga yang harus kalian bayar. Saya cuma tidak mau kalian menyesal di kemudian hari."
"Kalau memang kalian tetap anak kalian diadopsi karena belum bisa merawat sendiri, akan lebih baik kalau keluarga sendiri yang mengadopsinya. Siapa tahu ada keluarga kalian yang bersedia mengadopsi, jadi kalian tidak akan putus hubungan dengan anak kalian sendiri"

19 Desember 2012

"Besok temani aku ke Panti Asuhan. Aku mau nyerahin bayi kita untuk diadopsi" ujar sang wanita. 
"Baiklah, harusnya sejak dua bulan lalu kamu lakukan ini jadi kamu ga harus bingung-bingung kayak kemarin." jawab si laki-laki.
"Dua hari yang lalu orang rumah nelpon aku, katanya mama kambuh lagi jantungnya. Sekarang ada di rumah sakit" katanya dengan nada yang cemas. "Aku disuruh pulang secepatnya. Tapi bagaimana aku bisa pulang dengan kondisi kayak gini. Awalnya aku kira aku akan baik-baik saja dan akan memberitahu keluarga di rumah tentang anak kita kalau waktunya sudah tepat. Namun ternyata tidak ada waktu yang tepat"
"Aku sudah mikir dua hari ini, mungkin ini yang terbaik buat dia nanti" ujarnya sedih.

**
22 Desember 2012

Saya menggendong seorang bayi kecil yang montok yang baru saja diserahkan oleh perempuan yang membawanya. Wajahnya sangat lucu dan menggemaskan, mirip dengan laki-laki yang datang untuk menyerahkannya. Dia sangat tenang dan tidak rewel saat diserahkan perempuan itu, bayi yang sabar celetukku dalam hati.
"Bu, dia kalau tidur sukanya dibedong. Dia juga suka ngempeng bu" ujar sang perempuan kepada saya. 
"Wah, kamu suka ngempeng ya... Iya ya?" sambil memandang, saya mencoba berkomunikasi dengan bayi mungil ini. Bayi itu cuma terus memandang, ambil sesekali mengedip dan menggapai-gapaikan tangannya.
"Tunggu bentar ya..." kataku kepada pasangan muda ini.

Saya kemudian masuk untuk menyerahkan bayi mungil ini kepada petugas lain yang sedang menjaga anak-anak lain. Setelah itu kembali keluar untuk menemui mereka.

"Sesuai prosedur di sini, kami berikan waktu kalian seminggu untuk berpikir kembali apakah akan mengambil kembali anak ini atau tidak. Kalau tidak ada kabar dari kalian selama seminggu dari sekarang, maka anaknya akan bisa diadopsi oleh keluarga yang menginginkannya" kataku."Coba kalian pikirkan lagi benar-benar"

Setelah menandatangani semua surat-surat yang diperlukan, mereka berdua pamit. Mata perempuan itu masih tampak berkaca-kaca. Saya baru sadar kemudian bahwa hari ini ternyata bertepatan dengan peringatan hari Ibu, ironis sekali rasanya. Saya berdoa dalam hati semoga seminggu dari sekarang mereka akan kembali lagi ke sini. Semoga Ya Allah.

***

*Terinspirasi dari kisahnya yang kutemui hari ini 
*Nama yang digunakan bukan fiksi, karena tidak ada nama yang terucap di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar