Tadi sore saya ke Benteng Rotterdam, sedang ada event Makassar International Writers Festival 2012 di sana. Iseng-iseng saja saya ke sana, setelah kemarin malam melihat jadwal acara
di sini. Diskusi panel dengan judul "Don't Judge The Book by Its Movie" cukup menarik perhatian sehingga akhirnya saya memutuskan untuk ikut.
Sewaktu saya tiba, moderator, Riri Riza, sedang mengenalkan narasumber satu per satu. Ada Akmal N. Basral, Ahmad Fuadi, Ahmad Tohari, dan Ichwan Persada. Dari lima orang yang ada di panggung, hanya tiga nama yang sudah tidak asing bagi saya. Riri Riza, siapa yang tidak kenal sineas yang satu ini :D. Kemudian Ahmad Tohari, yang saya kenal melalu novel "Ronggeng Dukuh Paruk"-nya dan Ahmad Fuadi yang juga seorang novelis yang juga saya baca karyanya, Negeri Lima Menara (dan entah dimana novelku yang satu :( ). Dua orang lainnya yang belakangan baru saya tahu setelah mengikuti diskusi tadi. Diskusi tadi membahas tentang novel yang difilmkan dan film yang dinovelkan.
Untuk film yang dinovelkan mungkin tidak akan saya bahas karena jujur saya belum pernah baca novel yang bersumber dari film. Padahal menurut Akmal, beda loh... Hehehh.
Saya adalah salah satu dari mungkin sekian banyak orang yang biasanya protes (kadang dalam hati, namun lebih sering sambil ngomel) kalau nonton film yang bersumber dari novel. Seingat saya, film bersumber novel yang pertama saya protesi adalah Harry Potter, hahahh. Iya, ketika sangat banyak bagian di dalam novel yang tidak saya temukan di film saya biasanya protes sewaktu keluar dari bioskop. Tapi setelah dipikir, memang tidak mungkin menuangkan keseluruhan novel (apalagi jika novelnya tebal) ke dalam film yang hanya berdurasi kurang lebih dua jam.
Ronggeng Dukuh Paruk, yang novelnya baru selesai saya baca di awal tahun 2010 kemudian difilmkan dengan judul Sang Penari. Di poster atau iklan film ini memang ada tertulis "terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk" dan benar saja banyak hal yang berbeda antara novel dan filmnya. Saya ingat banget pas nonton film ini di bioskop, cewek di samping saya tidah henti-hentinya protes karena bagian di film tidak sama dengan yang dia baca di novel. Sangat mengganggu tentu saja sampai saya pindah tempat duduk supaya ocehannya tidak terdengar (untung banyak yg kosong).
Dan setelah mendengar sendiri dari pak Ahmad Tohari tadi, saya jadi ber "Oh... Pantas..." sendiri dalam hati. Ternyata beliau memang memberikan kebebasan kepada "penggarap" film Sang Penari untuk menafsirkan sendiri novel Ronggeng Dukuh Paruk. Beliau beranggapan bahwa tidak mungkin film yang akan dibuat sama persis dengan novel yang telah ia buat. Dan hasilnya, jadilah film Sang Penari yang saya dan (mungkin) Anda sudah tonton. Dan ternyata pak Ahmad Tohari pun cukup puas dengan film itu, roh film-nya dapat kata beliau.
Dari diskusi panel tadi disebutkan bahwa novel dan film adalah dua karya yang berbeda dan harus kita nilai berbeda pula. Kalau menurut saya sih mungkin maksudnya kita harus menilai sebuah film dengan memosisikan diri sebagai orang belum membaca novelnya (mudah-mudahan ga salah). Iya, saya rasa itu juga ada benarnya. Seperti saat menonton "Hunger Games" kemarin, saya menilai film itu bagus-bagus saja. Namun bagi teman yang terlebih dahulu membaca novelnya merasa film itu tidak sesuai dengan novelnya walaupun juga tidak jelek-jelek amat menurut dia :D. Saya memang cenderung tertarik untuk menonton film yang sudah terlebih dahulu saya baca novelnya. Ingin membandingkan bagaimana visualisasi di otak saya saat membaca novel dengan visualisasi film dan kebanyakan biasanya beda banget :)).
Mungkin mulai sekarang jika saya akan menonton sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel yang pernah saya baca, saya akan coba memosisikan diri sebagai orang yang belum pernah membaca novel tersebut sebelumnya. Mungkin agak susah ya, tapi itu bisa jadi itu salah satu cara untuk menilai filmnya dengan adil dan menikmati film dengan cara yang berbeda. Cape juga kan terus-terus membandingkan (walaupun cuma dalam hati) antara novel dan film sepanjang film berlangsung? ;)