Tapi, karena cerita kemaren saya baru selesai kuliah (Alhamdulillah, walaupun nilainya mepet yang penting tepat waktu *pembelaan diri :P*), jadi saya mau nulis tentang pengalaman kuliah ayah saya saja. Yang lain-lain mungkin lain waktu.
Ayah saya adalah anak pertama dari delapan bersaudara. Beliau asli anak gunung, huehehehh. Katanya, pas masih SD aja harus jalan kaki 30 km baru bisa nyampe sekolah. Sebetulnya, Ayah saya bisa kuliah itu juga karena suatu faktor keberuntungan. Biasanya, anak lelaki dari kampung ayah saya jaman itu tidak ada yang sampai mengecap bangku kuliah. Anak laki-laki, seusai sekolah biasanya pergi berlayar (yah, seperti lagu kali ya, nenek moyangku seorang pelaut). Namun, waktu itu Ayahku beruntung. Ada seorang pamannya yang menyarankannya untuk melanjutkan kuliah saja. Sebenarnya, seperti masalah pada umumnya, faktor biaya menjadi penghambat untuk ayahku melanjutkan kuliah. Bagaimana tidak? Kakek saya (ayahnya ayah) hanya seorang pensiunan tentara, mana ada uang? Mana adeknya ada 7 orang? Namun, paman ayah berkata pada ayah: "Insya Allah nak, kau pasti punya rejekimu sendiri"
Dengan modal keyakinan, berangkatlah Ayah saya ke kota untuk melaksanakan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Singkat cerita, ayah saya diterima di salah satu jurusan yang lumayan terkemuka *halah*. Ayah saya cerita, semasa kuliah dia tinggal di rumah yang dikontrak bersama teman-temannya. Rumah ini berdinding anyaman bambu dengan alas tanah (Sedih banget kan?). Isinya hanya tempat tidur, meja (yg dibawakan kakek dari kampung), dan kursi. Karena mejanya terlalu rendah u/ dipakai belajar, maka alasnya diberi beberapa tumpukan batu bata. Oh iya, katanya ayah juga cuma punya satu buah piring selama tinggal disitu. Makanan andalannya: Nasi Goreng. Eitt... jangan bayangin nasi goreng lengkap dengan ayam atau telur. Nasi gorengnya hanya berupa nasi yang digoreng dengan sedikit minyak dan bawang, kadang ada tambahan kacang goreng, kadang (huah... kasihan banget!).
Karena kondisi ekonomi tambah tidak memungkinkan, akhirnya Ayah memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Dan akhirnya ayah bekerja sebagai tukang sobek karcis pertunjukan di salah satu bioskop ternama di kota ini. Setelah itu, Ayah naik pangkat menjadi tukang yang ngambilin film untuk kemudian dikirim ke daerah-daerah sekitar (aduh, ga tau istilahnya apa). Oh iya, kata Ayah, nama bosnya waktu itu Tuan Surejh (jyah... India bgt. Emang orang India sih :P). Semenjak itu, Ayah sudah membiayai kehidupannya sendiri. Ga cuma itu, Ayah juga sempat jadi tukang batu bata sampai peternak burung puyuh.
Ayah saya memang bukan satu-satunya orang yang berjuang untuk membiayai kuliahnya sendiri. Banyak orang lain yang mungkin perjuangannya lebih keras dibanding Ayah saya. Namun, saya salut dengan Ayah saya. Ayah saya bahkan bisa membiayai kuliah beberapa adiknya.
Kalau mau dibandingkan dengan saya, jauuuuhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!
Saya tidak perlu bersusah payah mikirin uang kuliah, makan, tempat tinggal, dan lainnya. Bahkan saya merasa semua kebutuhan saya telah terpenuhi bahkan berlebih. Itupun kadang saya merasa masih ada sesuatu yang kurang, padahal, ga bisa dibandingkanlah dengan perjuangan Ayah saya semasa kuliahnya.
Sekali lagi, salut untuk Ayah saya dan semua orang-orang yang berjuang keras untuk dapat merasakan bangku kuliah. Hormat saya untuk Anda semua!
(Rumah, 27 Agustus 2010, 00.58 WITA)